Pro Kontra (Peraturan Pemerintah) PP 46 tahun 2013
|Beberapa minggu belakangan ini kalangan usaha dikejutkan dengan aturan perpajakan yang baru, yakni PP 46, tahun 2013. Selayang pandang, peraturan perpajakan yang baru ini mempermudah pembayaran pajak oleh wajib pajak di Indonesia, terutama target utama dari PP ini adalah kalangan UKM (Usaha Kecil Menengah).
Namun benarkah demikian? Artikel ini membahas beberapa sudut pandang diskusi dari berlakunya PP 46, tahun 2013 ini bagi beberapa jenis usaha, terutama dari sisi perusahaan “start-up” di Indonesia.
Sebagai data pembuka berikut beberapa sumber dari peraturan perundangan yang berlaku:
- Salinan Peraturan Pemerintah no 46, tahun 2013 (Kemendagri)
- Leaflet sosialisasi PP 46, 2013 oleh Dirjen Pajak
Bagi anda pemilik usaha atau pembayar pajak yang membutuhkan informasi singkat dan lugas bisa lansung melihat leaflet tersebut, karena illustrasi nya cukup baik dan jelas.
Nah, sekarang kita mulai dari pandangan yang “pro” terhadap kebijakan PP 46, tahun 2013 ini. Sesuai dengan pesan sosialisasi dari Dirjen Pajak, PP yang baru berlaku ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak dimana besaran pajak dapat dihitung secara sederhana, yakni 1% dari total omzet.
Dalam beberapa sosialisasi oleh dirjen Pajak, seringkali diberikan illustrasi bahwa peraturan PP ini seharusnya lebih diterima oleh pelaku UKM karena sebelum nya wajib pajak badan dikenai tarif 25% dari laba neto. Sebagai contoh, toko A memiliki omzet 30juta rupiah per bulan, dengan margin keuntungan nett sebesar 7% sehingga menurut aturan pajak yang lama, total pajak yang harus dibayar adalah 525rb (30jt x 7% x 25%). Sementara menurut aturan pajak yang baru, total pajak yang seharusnya dibayarkan adalah 300rb (30jt x 1%). Sehingga UKM lebih diuntungkan dengan aturan perpajakan yang baru. Beberapa illustrasi lain juga dapat dilihat di berita detik berkaitan dengan sosialisasi PP 46 ini.
Illustrasi di atas tentu saja terlihat benar, namun dengan syarat margin keuntungan netto nya adalah 7%. Namun apa yang terjadi bila usaha UKM tersebut memiliki margin keuntungan hanya 2%? Menurut aturan perpajakan yang lama, besaran pajak nya adalah 150rb. Sementara menurut aturan PP 46 yang baru, sebesar 300rb.
Disini kita bisa melihat, untuk UKM dengan margin keuntungan yang rendah, aturan pajak yang baru sangat memberatkan. Sebagaimana illustrasi di atas, dengan margin keuntungan netto sebesar 2%, berarti usaha tersebut seakan-akan terbebani oleh pajak 50% dari keuntungan bersih.
Barangkali pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mungkin ada usaha yang memiliki margin serendah itu? Jawaban nya adalah sangat banyak. Kita bisa melihat usaha grosir kebutuhan pokok, pulsa telpon baik elektrik maupun gesek, dan bila kita tidak menyangkal keberadaan nya, adalah usaha gestun atau gesek tunai (pada umum nya mengambil margin sekitar 1%-2%).
Bagaimana dampak peraturan ini terhadap usaha startup di Indonesia? Sudah menjadi pengetahuan umum, startup memiliki tingkat pengembalian modal yang cukup lama. Atau jika kita sederhanakan, kebanyakan startup harus melewati periode kerugian selama beberapa tahun sampai akhirnya dapat menghasilkan laba. Sebagai contoh, Amazon membutuhkan waktu sekitar 7 tahun (dari 1994 – 2001) untuk menghasilkan laba pertama nya, dengan pendapatan bersih di kisaran 5 juta US dollar (utk omzet 1 milliar US dollar). Bisa kita bayangkan, apabila aturan yang sama (PP 46, tahun 2013) diberlakukan untuk perusahaan semacam Amazon, pajak yang dibayarkan, yaitu 10juta USD (1% dari 1 milliar), jauh melebihi net profit nya. Dengan kata lain, perusahaan semacam Amazon tidak akan pernah menjadi profitable.
Kesimpulan
Peraturan Pemerintah no 46 tahun 2013 lebih didorong oleh spirit untuk memudahkan Dirjen Pajak dalam menegakkan aturan perpajakan terutama bagi wajib pajak yang menghindari kewajibannya.
Namun di sisi lain, PP no 46, tahun 2013 ini memiliki spirit yang kurang tepat terutama dalam hal “fairness” dimana besaran pajak ditentukan secara berjenjang sesuai dengan laba dari wajib pajak yang bersangkutan. Sebagaimana umum diketahui, setiap jenis bisnis memiliki margin yang jauh berbeda; makanan saji terkadang memiliki margin sampai lebih dari 100% dan bisnis pulsa yang terkadang hanya 1%.
Secara garis besar, PP 46 tahun 2013 ini juga memberikan efek negatif (disincentive) bagi pertumbuhan start-up di Indonesia. Alasan utama nya adalah karena banyak inovasi start-up yang bersifat sebagai “jasa makelar”, seperti Amazon (menghubungkan penjual dan pembeli buku), e-bay (menghubungkan pembeli dan penjual barang bekas/baru). dimana jika dihitung secara omzet menjadi amat besar, namun dengan margin kecil.
Saran penutup, barangkali lebih tepat apabila aturan PP 46 tahun 2013 ini memiliki perkecualian khusus. Salah satu alternatif dengan pemberian fasilitas khusus perusahaan berbentuk badan hukum dengan laporan keuangan yang sudah diperiksa oleh akuntan public diberikan kelonggaran untuk menggunakan aturan perpajakan yg lama.
Referensi
terima kasih infonya, pajak 1% dari omzet memang ga fair buat start up.
Itu kalau margin keuntungannya kecil. Lha kalo malah rugi, terus masih diwajibkan membayar 1% dari omzet, uangnya dari mana, wong rugi malah nanggung utang kok diwajibkan terus bayar pajak. Pemerintah guoblok poolll
Pak, boleh tanya, ttg pelaporan di SPT bagaimana melaporkan omzet dan pajak 1% yang sudah kami bayar? di kolom sebelah mana ya, karena Januari s.d. juni masih pakai tarif ps 17.
terimakasih sebelumnya
pelaporan pajak tahunan nya hanya perlu utk bulan Jan s/d Juni saja pak Wisnu. Yang Juli s/d Des kan sudah terpotong pajak final, sehingga tidak perlu dilaporkan lagi.
nah ya itu mas Joko, dasar pemikiran dari aturan ini tidak sejalan dengan tujuan dasar dari pajak progresif…
Kenapa rakyat diam aja, padahal jelas aturan itu Ģαℜ. Masuk akal? Demo aja rame rame!
kenapa kita harus menolak PP 46 karena pemikiran ketidakadilan? kenapa PP ini dibuat itu ada kesalahan dari pihak UMKM itu sendiri,,yang tidak tratur dalam melakukan penyetoran pajak ,,sehingga target penerimaan pajak di negara indonesia tidak tercapai. oleh karena itu dibuat PP/46/2013 ini yang bermaksud menyerdehanakan sistem pajak agak penerimaan pajak yang dipungut dari UMKM dapat berjalan lebih baik. kita sebagai pelaku UMKM hanya bisa mengikuti aturan yang telah dibuat oleh pemerintah,,jika hanya berpikir dengan asas ketidakadilan, saya rasa itu pikiran yang tidak realistis sebagai pelaku UMKM, 1% tidak akan membuat hidup para pelaku UMKM melarat untuk kemajuan negara indonesia.
betul pak Ghenta Basuki, memang asal mulanya karena ketidak teraturan “oknum” UMKM, tapi bagi sebagian umkm, contoh penjual grosir pakaian atau komoditas lain, yg seringkali margin kotor nya hanya 1% (karena kuantitas besar), terpaksa harus jadi tidak jujur. Ini yang menurut saya seharusnya di akomodasi di aturan tersebut, sehingga pengusaha yang jujur dapat tetap hidup dalam koridor tata aturan yang ada.